Masa lalu yang entah benar terjadi, hasil rekaan semata, atau sekedar miskomunikasi.
My past was chasing me, and now it got me.
Sebagian besar blogger ingin menjadi yang profesional meskipun yang mengatakan “ah, saya ngeblog cuma untuk iseng, buat ngisi waktu, menumpahkan unek-unek” juga ada. Hanya saja, ada yang sungguh-sungguh berusaha keras untuk menjadi profesional, dan ada yang tidak sungguh-sungguh. Bagaimana menjadi blogger profesional?
Salah satu metode belajar yang paling dasar-dan masih ampuh sampai saat ini adalah menirukan. Dalam hal ini adalah menirukan perilaku blogger profesional. Nah sebelum bisa meniru mereka, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membedakan mereka-yang mana (bagaimana) yang profesional dan yang mana (bagaimana) yang amatiran.
Dari pengalaman mengikuti mereka selama bertahun-tahun, ada beberapa hal yang membedakan blogger profesional dengan amatiran:
1. Tampilan Blog
Bukan mengkilat atau redup. Tetapi kerapihan, penggunaan warna, tata letak, dan kemudahan akses. Blog yang dikelola secara profesional, meskipun tidak selalu kinclong, tetapi semuanya tertata dengan sangat rapi, warna yang digunakan, penempatan link navigasinya mudah dipahami, secara keseluruhan membuat pengunjung betah berlama-lama di sana. Idealnya semua konten bisa diakses dari halaman mana saja.
Sebaliknya, blog amatiran biasanya: tampilannya acak-acakan, mungkin tampilannya cukup rapih tetapi warnanya membuat mata jadi lelah, penempatan elemen-elemen konten sulit dilogikakan. Atau link navigasinya susah dipahami. Seringkali pengunjung kecewa mengklik suatu link, konten yang muncul tidak seperti yang diharapkan.
2. Konten Blog
Blog profesional isinya juga pasti profesional. Profesional dalam artian ‘bermanfaat’. Manfaatnya bisa macam-macam: membangkitkan semangat, memberi petunjuk untuk melakukan ini-itu, menginspirasi, membuat orang menjadi merenung, atau menghibur. Jika tulisannya berupa opini, argumennya kuat dan jelas dengan batasan sopan-santun yang tak pernah kendor. Blogger profesional cenderung membatasi skup topiknya-tidak melebar kemana-mana, disajikan dengan beragam format selain text (grafik, gambar, slide, video dan audio). Jikapun mereka mengambil konten dari blog lain, dia sangat selektif, super peduli terhadap kwalitas dan kesahihan sumber.
Sebaliknya, blogger amatiran tulisannya lebih banyak dipenuhi oleh copy+paste, atau mengambil paragraph pertama blog lain secara otomatis (via feed). Jikapun mereka menulis sendiri, biasanya cenderung asal bicara, asal nyeplos. Habis membaca tulisan blogger amatiran, pengunjung hanya dapat ‘capek’-tidak memperoleh manfaat apa-apa.
3. Konsistensi
Blogger profesional sangat disiplin dan konsisten soal waktu posting. Jika mereka posting 3 x sehari maka mereka akan mengusahakan agar bisa posting 3 x sehari. Jika posting di akhir pekan, maka bisa dipastikan akhir pekan pasti ada konten baru. Mereka tidak mau mengecewakan pembacanya. Mereka sadar betul bahwa salah satu ukuran kredibiltas adalah konsistensi.
Sebaliknya, blogger amatiran sekali waktu mungkin tulisannya cukup bagus, sehingga ada beberapa pengunjung yang menantikan tulisan selanjutnya. Apa lacur ditunggu besoknya tidak muncul, seminggu juga tidak muncul. Pengunjung kecewa. Ternyata tidak konsisten. Kadang berminggu-minggu tidak posting, tetapi lain kali mungkin mereka bisa posting 10 kali dalam satu hari-diborong sekaligus.
4. Etika
Blogger profesional sangat menjaga etika. Tulisan yang bersumber dari tempat lain disebutkan dengan sangat jelas, bahkan disertai link. Demikian juga dengan gambar atau video. Baginya, manfaat sebesar-besarnya bagi pengunjung adalah perioritas utama. Dengan menyebutkan sumber, bukan saja menjaga etika tetapi memberi peluang pengunjung untuk memperoleh pengayaan pengetahuan dari sumber aslinya. Blogger profesional tidak pernah takut jika pengunjungnya akan pindah ke tempat lain. Tidak jarang blogger profesional memberi pujian tulus bahkan menganjurkan pembacanya untuk mengunjungi blog lain yang dianggap lebih berkwalitas.
Sebaliknya, blogger amatiran cenderung tidak terbuka. Jangkan memberikan link ke sumber tulisannya, menyebutkanpun tidak. Mereka pikir, dengan tidak menyebutkan sumber, maka pembaca akan percaya kontennya adalah asli. Padahal mungkin beberapa menit yang lalu pengunjung baru saja membaca tulisan yang sama di tempat lain. Blogger amatiran tidak peduli etika dan integritas.
5. Belajar dan Belajar
Blogger profesional tidak pernah merasa paling pintar. Meskipun mereka sering memberi advise atau petunjuk untuk melakukan ini dan itu, di balik layar mereka terus belajar. Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk belajar. Mereka selalu berusaha mencari jawaban atas setiap kendala yang dihadapinya. Mulai dari urusan mengelola hosting, mencari inspirasi konten, hingga mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pembacanya. Baginya, ngeblog adalah salah satu cara untuk belajar banyak hal. Bukan hanya belajar cuap-cuap atau membuat tampilan blog supaya kinclong, tetapi juga belajar disiplin, konsisten, menjaga kwalitas dan beretika.
Sebaliknya, blogger amatiran cederung pemalas. Baginya, ngeblog hanya sekedar saja. Hanya untuk menyalurkan unek-unek. Tak peduli apa yang dirasakan oleh pembacanya. Tak peduli apa yang dibutuhkan oleh pengunjung. Lebih parahnya lagi mereka biasanya sudah merasa pintar sehingga tidak perlu belajar lagi.
Oh iya, ada satu aspek penting lagi yang hampir saya lupakan, yaitu hosting dan domain. Blogger profesional mengaggap blognya sebagai sesuatu yang penting. Bukan hanya pantas untuk mengbil waktunya, tetapi juga pantas dibiayai. Mereka yang profesional tidak akan ragu menggunakan hosting dan domain sendiri.
Sedangkan bagi blogger amatiran, blognya hanya tempat main-main, sehingga tidak laya untuk dibiayai, tidak layak untuk di maintenance, tidak layak untuk diperhatikan. Mungkin itu sebabnya mengapa blog amatiran jarang memperoleh kunjungan, paling banyak 100-1000 kunjungan sehari sudah bagus. Sedangkan blogger profesional, kunjungan seharinya minimal 5000 unique visior (bukan hit yang lebih banyak dari robot), dengan bounch-back rate dibawah 60%.
Sebagian besar masyarakat umum, menganggap blogger identik dengan main-main, tidak jelas, tidak bertanggungjawab, tidak punya etika. Bahkan suatu ketika salah satu pakar IT Indonesia, yaitu Raden Mas Roy Suryo pernah mengatakan “Blogger adalah orang-rang sakit jiwa”. Mungkin itu sebabnya mengapa tidak ada cukup banyak blogger profesional di Indonesia. Yang saya tahu, tidak semua blogger seperti yang disebutkan oleh Roy Suryo. Blogger profesional memiliki pola pikira yang sangat systematis, disiplin, konsisten, dan beretika.
- Gusti Bob.
Dicopas dari sini.
Idup itu kayak naek Damri.
Lo bisa ngeliat Mercy di jalur kiri dan ngebayangin betapa dingin AC-nya, betapa empuk kursinya, segimana gaya untuk ada di dalemnya, atau lo bisa liat ke kanan jalan dan liat anak-anak jalanan, terik matahari yang mereka rasa tiap hari, kerasnya idup mereka, dan betapa yang misahin lo ama mereka cuma satu, NASIB.
Jangan omong kosong tentang gimana lo udah kerja keras untuk sampe di posisi lo sekarang, kalo lahir di di bawah jembatan kayak mereka, dengan usaha doang emang bisa lo ada disini sekarang?
Mirisnya, mereka juga liat BMW, ngebayangin betapa dingin AC-nya, betapa empuk kursinya, dan segimana gayanya untuk ada di dalemnya, setiap hari.
“Hari ini, besok harga naik” - @gynaecia
Kapan harus ganti gaya rambut?
Hilangkan poni, gondrong dengan sedikit gaya-gue-gimana-gue style, jadikan belah samping rapi plus minyak rambut klimis opsional.
Kapan harus berenti suka maen game?
Tombol-tombol yang akrab di jari main Final Fantasy terganti pahit manis bermain hati.
Kapan harus berhenti baca komik?
Walau koran banyak manfaatnya, One Piece, Conan, Eyeshield 21, dkk selalu punya eksitasi tersendiri.
Kapan harus memaksa jeans kesayangan untuk pensiun?
Dan membiasakan diri bercelana kain. Bah, seperti tak cukup saja tiap hari di kampus ku memakainya.
Kapan harus sadar kalau menikmati momen dengan caraku sendiri tanpa merugikan orang lain adalah dosa?
Kapan aja boyeeh.
…
Kapan harus dewasa?
Atau lebih tepatnya, kenapa harus indikator teknis seperti itu yang dijadikan patokan?
Padahal aku percaya bahwa manusia bisa pertahankan semangat dan antusiasme si bocah TK tapi tetap mengutamakan kepentingan bersama, berpikir logis idealis namun tetap menjejak realita, visioner namun tak tenggelam dalam masa depan yang masih fana.
Secara tidak sadar kita tumbuh menjadi orang yang mempersempit definisi, mengaburkan makna kedewasaan itu sendiri.
-Aku, yang menolak dewasa dengan cara mereka.
Yak, itu lah tulisan yang muncul waktu gue berniat ngepost di Blogger tadi.
Maafin aku mas Tumblr, nyebut nama saingan mas di judul gede-gede begitu.
…and just what the heck is “galat”??
Sungguh ya waktu pertama baca gue kira tulisannya:
“Blogger: Galau saat memenuhi permintaan anda”
WOW. Mindblowing.
Sebenernya gue dulu bingung kalo mau nulis enakan di Tumblr apa Blogger. Tapi dengan pertimbangan gue banyak nge-reblog postingan orang di Tumblr, yang mana bisa bikin postingan asli gue kekubur, jadi gue lebih milih Blogger.
Eh, tak disangka tak dinyana, dia lagi galau.
#nowplaying Feist - Mushaboom
Karena udah lama ga blogging…apa kabar Tumblr?
…
Edan pundung lah ga mau jawab. Okeh!
Assuming you would ask me back, overall I’m fine. :)
Lagi hectic MDE-SOOCA-SIDANG nih. Semoga aja beneran jadi UAS terakhir gue.
Ujian terakhir yang KERASS (S-nya ampe dobel) ini berlangsung sebulan totalnya. Memberi gue dan temen-temen seangkatan beban fisik dan mental yang ga ringan. But I’m sure we’ll manage. Through days like these we grew, right? :)
Kesehatan agak menurun soalnya banyak begadang demi nonton Burn Notice ngapalin 32 case SOOCA dan ngelahap (not literally) ribuan soal buat MDE.
Lutut kiri masih belom sembuh dari oleh-oleh Olymphiart kemaren, quadriceps straining. Jadi masih betah rehabilitasi manasin-regangin otot tiap pagi dan sedia counterpain di tas. Gue kangen jongkok dan lompat-lompat! Serius ini mah, activitas boker normal terlihat sangat berharga kalo udah gini. Pengen maen basket juga. Not like i had time for sport or anything sih. Ya berdoa aja semoga cepet sembuh deh..amiin.
Kosan acak-acakannya udah kayak kandang. Dengan kondisi ampir tiap malem nginep di Sarmon (Sarang Monyet, kosan Galan yang berasal dari spesies Macaca fascicularis) gue ke kosan cuman mandi-ganti baju-drop dan ambil barang.
Laptop yang setia ngerjain skripsi berminggu-minggu kemaren tombol N-nya rusak kayanya. Harus dipencet keras banget baru keluar. nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn.
HP sejak diinstal O.S 6 jadi sering hang dan agak lemot. Sempet kepikiran ganti lagi jadi O.S 5. :/
Pikiran? Ah i can barely think about anything else than my exam. Paling lagi seneng baca-baca soal NII dan PKS, dan keadaan islam di Indonesia sekarang ini.
Emotional state? Relatively stable, with a little endorphins turn-over here and there. ;)
But ah, life is just too short for an emotional roller coaster, ain’t it?
A home is not a house, its people.
Home is entirely bout the people you love. The people who watched you grew. The people you grew up with. Your family.
Its not about how much time you spend in it.
For nearly 4 years I have spent my life in Jatinangor, a town where my campus stands. Each and every single week in it means 5 days in kosan and 2 days in my real house.
Sometimes when I have some extra activities going on, I didn’t even come home.
It seemed okay at the moment, I would make a single phone call and my mom would say its okay for me not to come home that weekend. I barely notice a dissapointed tone on her voice..
Now, on the verge of my sister’s wedding, I look back to those moment and I feel a slight of regression. Now one of my family will go away, someday my other sister will too. And my time will eventually come too.
I guess its a part of growing up, to be seperated to our own way, to our own destiny..
-Ditulis oleh saya, diatas Damri yang berjalan perlahan. Menjauhi rumah. Menjauhi mereka yang biasa hangatkan jiwa.
When I die and my brain is being sectioned, I want those nerdy professor guys to find an interesting-full of ups and downs-story in it.
Yeah, I sometimes forgot that in order for a life to be awesome and UNboring, it needs “downs” as much as it needs “ups”. Well, anything but a straight-plain-mediocre life.
It’ll hurt but I’ll manage. :)
“Fuck the miles. Fuck them.”
- Going The Distance
Abis nonton film ini jadi semacam tertohok. Teriris. Tersayat. Terbelah bagai sembilu.(?!)
Selama ini selalu kalah ama yang namanya jarak nih. Padahal jarak terjauh juga cuman Bandung - Jakarta. Not fully committed, my friends used to say. Easily tempted, others would have thought.
Padahal ntar kalo PTT di, lets say Papua, gue bakal jauh sama siapapun itu. Untuk waktu yang ga sebentar pula. Mau jadi apa gua? Mau cinlok ama warga lokal, kawin siri dan menghasilkan anak-anak item rambut kriwel yang berlarian dengan koteka?
Well, that’s exactly not the way i would picture myself in 5 to 10 years ahead.
Yeah, i have to fix it, i guess.
Sepuluh perkara termasuk fitrah untuk lelaki:
1. Menggunting kumis
2. Merawat janggut
3. Bersiwak
4. Kumur-kumur
5. Memotong kuku
6. Beristinja’
7. Membasuh lipat jemari & cuping telinga
8. Mencabut bulu ketiak
9. Mencukur rambut kemaluan
10. Menghisap air ke hidung.
(Dari twit #Lelaki - nya Mas @salimafillah )
Nomer 1 oke dah. Sempet jadi om-om berkumis lebat buat nakutin anak baru pas jadi ketua ospek, but that’s that.
Nomer 2 maksudnya “merawat” itu memanjangkan apa dipelihara supaya terlihat indah, either itu dicukur apa engga ya?
Nomer 8 sangat-sangat jarang gue lakuin karena entah kenapa paradigma umum membuatnya sangat gay-ish, apalagi “mencabut” seems menyakitkan sampe ke ubun-ubun kalo denger pengalaman cewe-cewe di sekitar gue. Semoga ngegunting aja ga apa-apa deh ya. :D
(Ki-Ka: Belakang: Disti, Iie, Ivone, Kate. Depan: Kara, Maya, Bonar, Vina, Novery, Gue )
Yaay! Setelah dua minggu gue ditinggal foto sama kelompok tutor pas lab yang mana lalu fotonya diaplot di FB dengan caption; “Tutor GUS A2 FULL TEAM” (entah kenapa gue tau ada penekanan khusus pada kata “full team”), akhirnya gue berhasil masup foto dan kelompok gue beneran full team! Hahaha.
Sebenernya bukan salah mereka juga gue ga masuk foto di dua kali lab berturut-turut gue cabut lab. Jangan dicontoh ya, I’ve been a bad boy..*geleng-geleng* *mendesah penuh sesal*
Foto-foto di lab gini somehow mengingatkan gue akan excitement dan kebanggan yang once gue miliki. Gue ama anak-anak suka ngetawain ngeliat anak 2010 pada hobi banget foto di kampus. Di lab foto, di plaza foto, di ruang lecture foto, kayaknya tinggal di ruang dekan aja mereka belom foto. (But I know they’re trying, though) Dibalik tawa itu gue keingetan kalo gue ama anak-anak seangkatan 2007 juga sama noraknya ama mereka dulu, but somewhere along the road med-school’s madness took that excitement away from us..
I miss that eagerness, i miss that excitement.
I miss that passion. :’)Gue punya kaka dua biji.
Walaupun mereka ga punya biji.
Gue sayang sama mereka.
Bukan sayang inyi minyi sih.
Entah kenapa lebih nyaman menyatakannya dengan implisit.
Hari ini mereka berantem.
Bukan hal baru sebenernya, since kami udah berantem sejak gue bisa nginget.
Berantemnya ga penting sih kalo kata gue, dan somehow gue tau bakal baekan dengan segera.
Tapi nyokap gue sempet nangis.
Katanya kenapa koq punya anak-anak perempuan keras kepala semua.
Yeah, note the word “perempuan”.
Berarti gue engga.
Ha.
Ha.
Ha.
Jadi mikir aja sih.
Kaka gue yang pertama udah mo kawin April nanti.
Kaka gue yang kedua kuliah dan ngekos di Jakarta.
Gue kuliah dan ngekos di Jatinangor.
Ka Ela, Ka Eta.
Takdir mengharuskan kita berada berkilometer-kilometer jauhnya.
Tapi cukuplah itu memisahkan kita secara fisik.
Karena gue selalu yakin sejauh apapun takdir memisahkan kita, hati-hati kita akan selalu dekat terpaut kata;
Keluarga.