Senja merekah, menutup hari dengan merahnya
'Ah, malam datang. Ingin rasanya esok cepat terbentang,' pikirku
Aku tak pernah harapkan malam
Hening dan dingin, terbalut diam.
Dalam penantianku akan esok, hatiku berbisik
'Hey, cobalah lihat ke atas!'
Tak biasa aku melihat keatas, pegal leherku nanti
Dan lagi,
Tak kuharap apapun dari langit malam selain gelap yang menenggelamkan.
Tapi angin berkata lain rupanya
Malam-malam silih berganti tapi baru kini ku mendongak
. . .
Sejenak ku terhenyak, hanyut dalam kontemplasi
Berbalut hitam malam indahmu teresonansi
Jauh dan sedikit angkuh, ingin sekali ku merengkuh.
Tak kumengerti apa yang bedakan dia dari yang sebelumnya menghampiri
Dia tak membara layaknya Kejora yang menyala-nyala
Juga tak seanggun Tiara berbingkai gaun
Namun satu yang kurasa pasti, dia, jelita dengan caranya sendiri
...............
'Bulan..,' tak sadar ku berbisik, lirih.
Malam itu memang bukan malam biasa
Membuat siang-siang yang datang setelahnya bias
Kini hening pecah menjadi gelak tawa
Kini dingin berubah menjadi gelora
Berpikir keras, pun menjadi diskusi yang memperjelas
Membuat Bumi melihat angkasa dengan cara yang berbeda.
Gravitasi mungkin ada untuk memberi kesempatan
Pada Bumi dan Bulan untuk ber-revolusi beriringan
'Aku ada hanya saat malam tiba,' katamu
Nyatanya saat terik mentari membakar Bumi
Keberadaanmu toh tak dapat kupungkiri
Hanya saja kau memilih berdiam diri, menyayangi dalam sepi.
Wah,wah, tak terasa dua belas kali sudah kau datang dan pergi, bulan
Bertahan di sisi Bumi yang kerap jengkelkanmu, kau memang keras kepala, Bulan
Walau kepastian tak bisa kuberikan, sampai kapan kita bergandengan
Tapi sungguh aku menikmati dan memaknai saat-saat bersamamu, Bulan.
Siang atau malam - nampak atau buram, kau selalu ada, Bulan.
Percayalah.
Karena kau, adalah Bulan di Bumiku..
17.03.2010
(Untuk Bulan, yang telah bertahan)
No comments:
Post a Comment