Thursday, November 6, 2014

Over-nicely-named Melena

(Written on my days as a co-assistant on family medicine rotation, Klinik Padjadjaran Leuwigoong, Garut)

Last night.
In the middle of the night.

When people were sound asleep, shades of mountains stood majestically on the horizon, the wind blew misteriously, a grasshopper was pinched under the door (well it was totally unrelated to the story, my condolence for him tho) (assuming it was a he) (didn’t have time to search for penises)..

There I was standing still, horrified by the scene I’ve caught myself in. The fact came emerging so furious that my brain needed more time to processed it.

I
SHIT
BLOOD

Well, I can’t seem to find any subtler way on phrasing it.

Gilak. There was this unreasonably terrifying sensation in watching fresh red blood gushing from your own body, particularly your anus. Padahal udah sering banget nanganin pasien dengan keluhan yang sama. Dan gue akan dengan tenangnya bilang, “Iya Pak, biasanya itu karena Bapak kurang minum, kurang makan serat, kebanyakan duduk. Diubah ya Pak life-style nya.. Ini saya kasih obat untuk keluhannya.”

WELL FCUK LIFESTYLE!
I JUST SHAT BLOOD, FOR MY ENTIRE GASTROINTESTINAL SYSTEM’S SAKE!

Itu juga yang jadi concern dokter-dokter sekarang, kebanyakan dari kami terlalu konsen ke penanganan untuk CURE. Padahal penatalaksanaan holistik mengharuskan kami untuk CURE and CARE pada pasien. There’s even a saying that says, “To cure is optional, to care is a must” Karena emang ga semua penyakit bisa disembuhin -hence the debate about palliative care- but to care is always in our jurisdiction and capabilities, right? Right. (screw you I dont need your opinion)

Jadi setelah kejadian semalem gue akan berusaha untuk lebih peduli sama perasaan dan keadaan mental pasien. Instead of paket omongan standar yang biasa gue omongin ke pasien di atas, gue akan menambahkan, “Sabar ya Pak, saya tau koq betapa mengerikannya keluar darah dari pantat..” *puk-pukin Si Bapak* *puk-pukin pantatnya* #KemudianDituntutPelecehan

Oya, to add some intelectuality into this rather idiosincracy personal experience, let me explain this briefly. Jadi ada beberapa langkah yang harus dilakukan kalo suatu saat naudzubillah-nya ada darah keluar saat anda pup:
1. Bersyukurlah bukan bayi yang keluar.
2. Hang on to something, sit if possible. Khawatir perdarahannya masif dan bisa bikin anemia, anda bisa pingsan di tempat. Berhubung kamar mandi kan licin, takutnya pas pingsan kepala anda kebentur dan jadi perdarahan dari atas dan bawah kan jadinya. Nobody wants that.
3. Examine. Setelah memastikan diri ga pusing, mata berkunang-kunang, mual, ngantuk yang sangat secara tiba-tiba yang mana adalah tanda-tanda darurat anemia, cek darah yang keluar. Cek warna, jumlah dan keberadaan lendir. Sekalian cek juga tinja anda apakah hanya tinja biasa atau kura-kura tinja. Kalo darahnya merah terang, berarti perdarahannya di saluran cerna bagian bawah, kalo darahnya item berarti dari saluran cerna bagian atas.
4. Check yourself. Tentunya setelah di-flush dulu lah itu kloset. Cek konjungtiva (bagian merah di mata yang keliatan dengan narik kelopak bawah ke bawah), kalo warnanya merah muda-pink gitu ati-ati tandanya mulai ada anemia ringan. Kalo warnanya merah tegas berarti anda kurang cocok kerja di air sehat. Cek apa ada demam, lendir di darah dan tinja, sakit perut yang menusuk, sakit perut yang periodik atau muntah. Kalo ada bisa berarti diare, infeksi, atau parese usus, apapun itu artinya anda harus segera ke lari ke dokter atau rumah sakit terdekat. Well, naek mobil juga bisa sih.
5. Before you wreck yourself. Kurang minum, terlalu sering makan daging merah, kurang makan sayur dan buah, aktivitas hanya duduk atau gaya hidup inaktif adalah faktor-faktor resiko anda bisa mengalami kejadian mengerikan ini.

Sekian tips yang berasal dari pengalaman pribadi dan sedikit ilmu kedokteran dasar yang gue pelajari. Ingat, seburuk-buruknya eek berdarah masih lebih buruk darah ber-eek. Imagine accidentaly cutting yourself just to see feces coming out from your wound. That shits cray, man.

Friday, September 26, 2014

Ia Yang Dijauhkan Daripadaku

Bukan, ini bukan tulisan tentang cinta tak berbalas atau korban PHP. Ini sekedar rekaman pengalaman yang diwarnai kekecewaan namun berakhir indah. *azeg* Awalnya abis beres internship bulat gue bertekad untuk ikut program PTT (Pegawai Tidak Tetap). Saat lagi nyari-nyari informasi tentang pembukaan PTT Daerah sambil praktek di klinik-klinik swasta sekitaran Bandung, datang godaan dari beberapa temen berupa ajakan untuk bareng-bareng ngerintis klinik yang nantinya bisa jadi sumber penghasilan pasif.

Syaratnya? Gue harus tetep tinggal di Bandung sampe minimal satu taun setelah klinik beroperasi. Mengingat bahwa saat itu yang ada baru semata tanah kosong punya orangtua temen maka waktu pembangunan, pengurusan izin, persiapan logistik dan obat dan sebagainya kira-kira akan membuat gue harus tetep tinggal selama dua taun di Bandung. Padahal kaki rasanya udah gatel pengen segera pergi dari tanah Jawa setelah sekitar dua puluh lima taun menapaki. Pilihan menggiurkan dengan konsekuensi merisaukan. Setelah shalat istikharah dan konsul ke orang tua yang selalu gue harap ridhonya dalam setiap keputusan yang gue ambil alhamdulillah Allah nunjukin jalan.

Potongan doa setelah shalat istikharah itu seperti ini:
“Ya Allah jika hal ini dalam pengetahuanMu adalah baik bagiku, baik pada agamaku, baik pada kehidupanku sekarang dan masa datang, takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berilah aku berkah daripadanya.
Tapi jika dalam ilmuMu hal ini akan membawa bencana bagiku dan bagi agamaku, membawa akibat dalam kehidupanku baik yang sekarang ataupun pada masa akan datang, jauhkanlah ia daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya. Semoga Engkau takdirkan aku pada yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas setiap sesuatu.”

Doa ini buat gue ngena banget, terutama bagian “..baik pada kehidupanku sekarang dan masa datang..” yang nunjukin bahwa mungkin aja sesuatu tampak indah dan menggiurkan di masa sekarang padahal akan membawa keburukan di masa depan. Bagian “..jauhkanlah ia daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya..” nunjukin bahwa Allah ngasi petunjuk ga melulu melalui keputusan-keputusan yang kita buat, tapi juga lewat keputusan-keputusan yang engga kita buat, yaitu saat faktor luar diri lah yang memutuskannya untuk kita.

Seperti juga yang terjadi sama dilema klinik ini, saat gue sebenarnya masih menyimpan hasrat untuk ikut temen-temen, mereka lah yang akhirnya mutusin untuk engga menyertakan gue pada rencana mereka. Gue menafsirkan ini sebagai cara Allah untuk menjauhkan pilihan itu dari jangkauan gue, si manusia yang dasar emang serakah dan ga pernah puas.

Tidak mudah memang. Kecewa dan rasa ingin berontak sempat muncul. Tapi toh pada akhirnya gue dipaksa memutar kembali kemudi bahtera hidup *sedappp* menuju tujuan semula, PTT Daerah. All is fair in love and war, engga tersisa sama sekali dendam atau perasaan ditinggalkan oleh temen-temen karena gue yakin kami punya takdir masing-masing. Ia yang buruk bagiku mungkin baik untuk mereka, Ia yang dijauhkan daripadaku mungkin memang sudah jalan hak mereka di dunia. Sekarang yang tersisa tinggal doa dan asa semoga kami senantiasa dimudahkan dan dilancarkan di jalan kami masing-masing. Amiin.

Bandung, 2 September 2014.
Arri Raditia, dr.

Saturday, September 20, 2014

PTT: Technicalities

Gue udah ga inget sejak kapan mulai minat PTT. Mungkin dari sejak bolak-balik ngeyakinin orang kalo biaya kuliah gue dari masuk sampe dapet gelar dokter itu total jendral cuma sekitar 21 juta, sebanding sama biaya satu semesternya beberapa fakultas kedokteran universitas swasta. Biaya pendidikan bisa diteken sampe sekecil itu karena setelah gue telisik ternyata sebagian biaya operasinya disubsidi oleh pemerintah yang asalnya dari pajak yang dibayar sama masyarakat. Itu tentu dulu sebelum banyak universitas negeri berubah bentuk jadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dengan konsekuensi kewenangan lebih luas tapi pembiayaan lebih mandiri. Mungkin juga sejak gue sadar bahwa sementara idup gue di kota begitu nikmat, masih banyak masyarakat di daerah pinggiran atau di luar Pulau Jawa yang ga punya akses ke kemudahan (atau bahkan kebutuhan dasar seperti kesehatan) yang setiap harinya gue rasain. Kerjaan Bokap yang udah puluhan taun bolak-balik ke pelosok-pelosok terpencil di seluruh Indonesia untuk ngebangun infrastruktur penyediaan air bersih dan pengolahannya adalah jendela utama tempat gue bisa liat kenyataan itu.

Pengen sebatas pengen, jaman kuliah dulu ga ada tuh kepikiran untuk nyaritau lebih jauh soal PTT itu apa, gimana teknis pelaksanaannya, apalagi mikirin dasar peraturan dan payung hukumnya. Namanya mahasiswa ya isi kepalanya bisa ditebak kalo engga pacaran, sesering mungkin melancong ke Bandung (maklum anak Jatinangor) ama temen-temen, ato ntar malem makan apa. Simpel. Baru mulai nyaritau soal PTT dari internet dan nanya-nanya senior yang udah ngejalanin itu sekitar pertengahan koas. Kebuka deh otak gue kalo yang namanya PTT itu ga cuma satu jenis, ga selalu di daerah pelosok banget yang masyarakatnya masih pake bahasa isyarat dan yang pasti ga selalu menderita. :D

Detail tentang klasifikasi PTT Pusat, Daerah dan cara lain mungkin udah banyak yang bahas di blog atau artikel tetangga, jadi gue cuma bakal bahas garis besarnya aja. Peraturan dan dasar hukum PTT dokter, dokter gigi dan bidan bisa diliat di Kepmenkes RI Nomor: 1540/MENKES/SK/XII/2002, sekalian membudayakan punya dasar atau referensi yang kuat sebelum bagi-bagi informasi nih. Tapi kalo ada yang tau versi lebih baru atau revisi dari kepmenkes ini boleh kasitau gue karena kalo ga salah ada versi taun 2010 keatas tapi gue ga nemu. Pada dasarnya tiga jenis PTT ini bedanya ada di empat konteks; masa bakti, asal pendanaan, besaran gaji dan lembaga yang memayungi.

PTT Pusat mewajibkan pesertanya untuk berbakti selama tiga taun untuk daerah kategori biasa dan dua taun untuk kategori terpencil dan sangat terpencil. Gaji yang diterima peserta tentu ga berasal dari pohon duit, asal pendanaannya dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang besarannya bisa diliat di ropeg-kemenkes.or.id...and wait there’s more! Beberapa daerah juga memastikan kesejahteraan dokter PTT Pusat di daerahnya dengan nambahin insenda (insentif daerah) yang besarannya biasanya tergantung PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing, jadi kalo tertarik dapet insenda yang besar bisa dicoba menyasar daerah penghasil minyak, logam mulia atau gas alam, jangan yang sekedar ngehasilin kuaci. PTT Pusat diselenggarakan oleh Kementerian Sihir Kesehatan dan pendaftarannya dibuka tiga kali setaun, sekitar Februari-Maret, Mei-Juni dan Agustus-September. Bagi yang berminat disaranin banget rajin buka situs ropeg kemenkes di bulan-bulan itu.

PTT Daerah, as it name implies, diselenggarakan oleh Dinkes (Dinas Kesehatan) daerah, baik itu Dinkes Provinsi atau Kabupaten. Negara ngasi kewenangan pada daerah yang merasa kebutuhan tenaga kesehatannya belum terpenuhi dengan syarat pembiayaannya pun mandiri berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), besaran gajinya tergantung lagi sama PAD (Pendapatan Asli Daerah) jadi balik lagi kalo orientasinya duit mesti pinter-pinter milih daerah yang tajir. Masa baktinya pun tergantung masing-masing daerah, ada yang tiga bulan, enam bulan, setaun dan bahkan ada yang nyamain PTT Pusat yaitu selama dua taun. Daerah-daerah yang gue tau buka PTT Daerah diantaranya; Prov. Kepulauan Riau, Prov. Bangka-Belitung, Kab. Lampung Timur, Kab. Serang, Kab. Tangerang, Prov. Kalimantan Tengah, Kab. Majene, Kab. Teluk Bintuni, Kab. Halmahera Selatan, Kab. Halmahera Tengah, Kab. Ketapang, Prov. Palu, dll. Informasi tentang PTT Daerah ini biasanya berasal dari mulut ke mulut, baik itu dari temen yang tau dari temennya atau dari senior yang udah beres masa baktinya di daerah itu. Bisa juga googling dan cari-cari info di internet, tapi sayangnya di era digital macem sekarang staf-staf di dinkes banyak yang belom gape sama teknologi. Pengalaman gue kemaren banyak banget webpage dinkes yang error atau udah lama banget ga di-update.

PTT cara lain ini menurut gue paling aneh dan kurang jelas dasar pelaksanaan dan mekanisme kerjanya. Sepemahaman gue, PTT cara lain ini diajukan oleh sebuah badan atau lembaga swasta kepada dinkes daerah agar tenaga kesehatan yang bekerja di bawah badan atau lembaga tersebut bisa masuk formasi tenaga kerja PTT, jadi secara garis besar pesertanya berada di bawah koordinasi badan atau lembaga swasta tersebut dan dinkes daerahnya. Besaran gaji yang diterima kabarnya cukup besar (kurang tau jumlah persisnya) karena berasal dari badan atau lembaga swasta dan pemerintah daerah sekaligus tapi karena itu juga mengharuskan masa bakti cukup lama yaitu tiga taun (berdasarkan kepmenkes diatas). Tapi kemaren sempet dapet tawaran PTT cara lain di Klinik ASRI, Taman Nasional Gunung Palung, koordinator yayasan penyelenggaranya ngeyakinin gue kalo PTT cara lain disana bisa cuma setaun aja. Well, like i said, paling ga jelas, jadi akhirnya ga gue ambil tawaran itu. Kalo temen-temen punya info lain soal PTT cara lain ini yang jelas keabsahannya boleh kasitau gue hehe.

Well sekian bahasan gue soal PTT, buat yang berminat ngejalanin baik motivasinya diangkat jadi PNS, surat SMB, duit ato pengalaman mending pikir-pikir dulu yang bener soal akan ambil PTT yang mana, dimana dan berapa lama. Take your time, masyarakat di pelosok akan tetap butuh kita sampe target pemerataan dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tercapai. Semoga PTT kita jadi PTT yang bermanfaat baik buat kita sendiri dan masyarakat, termaksimalkan dalam segala keterbatasan dan tetap ternikmati dalam segala kondisi. Amiin. :)

Tanjung Sendana, 6 September 2014
Arri Raditia, dr.

PTT: Pegawai Tapi Tamasya

Salam dari Tanah Celebes!

Setelah sempet terseok dan limbung dihantam nasib, berbagai rencana ambyar luluh lantak, alhamdulillah akhirnya Allah ngebimbing gue kesini, ke sebuah titik kecil di bagian –maaf- pantat Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Barat, Kabupaten Majene, Kecamatan Tanjung Sendana 1, di sebuah rumah dinas yang mungkin dari luar terlihat tua dan reyot namun bagian dalamnya...sayangnya direpresentasikan dengan cukup akurat oleh bagian luarnya.



Sejak zaman mahasiswa memang sudah bulat gue bertekad untuk ikut program PTT (Pegawai Tidak Tetap). Motivasinya pertama karena gue pengen mengabdi, itung-itung balas budi pada masyarakat yang udah ikut ngesubsidi uang kuliah dulu. Kedua karena konon Surat SMB (Selesai Masa Bakti) yang didapat setelah menjalani PTT Pusat, Daerah, atau cara lain itu cukup sakti untuk dapet prioritas pendaftaran sekolah spesialis, BUMN atau perusahaan swasta. Alasan ketiga mungkin terdengar klise tapi gue pengen cari pengalaman. Pengalaman berkecimpung di dunia kesehatan setelah sebelumnya icip-icip saat internship, pengalaman kerja dan idup di luar Bandung slash Pulau Jawa dengan segala kemudahan dan fasilitasnya, pengalaman terus mendorong potensi diri di tengah keadaan yang sangat jauh dari zona nyaman.

Kenapa PTT Daerah? Karena di luar fakta umumnya gaji PTT Daerah lebih rendah dari PTT Pusat, masa bakti PTT Daerah biasanya cuma satu taun, malah ada yang enam bulan (dan ternyata ada yang tiga bulan kayak yang lagi gue jalanin sekarang). Waktu jadi salah satu faktor pertimbangan utama karena maklum lulusan dokter itu kasarnya udah abis umur di kuliah empat taun, koas satu setengah taun (tergantung univ dan kurikulum sih) (dan itu juga kalo lancar) plus internship satu taun. Jadi saat lulusan jurusan laen udah mandi uang dan bertabur permata, kebanyakan dari kami masih mengais rezeki seadanya. *uhuk* *keselek aer mata sendiri* Makanya buat gue dan sejawat lain yang ada niatan sekolah lagi baik jalan klinis (spesialis) atau akademis (S-2), sebisa mungkin ga pengen lagi ngabisin waktu yang ga perlu.

Kenapa Sulawesi? Well I don’t actually have any particular affinity toward this K-shaped island. Pertama dikasitau sama Echong yang dikasitau sama temennya, Diana, yang ternyata juga tau dari Esmond, lulusan FK Unair yang pernah PTT Daerah di kecamatan tetangga periode April-Juni dan berniat nerusin untuk periode September-November. Pertama dapet info itu ada empat kecamatan di Kabupaten Majene ini yang buka peluang; Lembang, Pamboang, Tanjung Sendana 1 dan Ulumanda. Setelah liat posisinya di peta, jujur ga tertarik sih secara Majene ini secara garis lintang berjarak hanya tiga derajat dari garis khatulistiwa, yang mana menjamin terik dan gaharnya Sang Surya sepanjang hari. I don’t actually mind the sweat and the heat, but prematurely living in some kind of hell before getting thrown to the real one didn’t seem so tempting. Tapi yasudahlah, berhubung cuma tiga bulan gue berniat untuk manfaatin waktu yang ada sebelom pembukaan PTT Pusat berikutnya, pembukaan PTT Daerah di Kepri atau Kalteng atau apply di ISOS. Setelah memantapkan hati, gue ngehubungin Esmond dan ternyata tempat yang masih kosong tinggal Kecamatan Tanjung Sendana ini, berhubung pengetahuan gue yang masih nol soal masing-masing kecamatan I thought what the heck what difference does it make, langsung beli tiket! (tiket konser SNSD) (lha)

Perjalanan dari Bandung kesini bisa ditempuh dengan berbagai cara misalnya bikin rakit sendiri terus nyebrang Laut Jawa sampe Makassar lalu berenang ke Majene ini, seperti kata pepatah berakit-rakit ke Sulawesi berenang-renang dimakan hiu. Tapi seperti kebanyakan orang normal lainnya gue memutuskan pake cara konvensional. Pesawat Jakarta-Makassar ada dari berbagai maskapai dengan jadwal sampe beberapa kali sehari, dari Makassar gue pake bus malem jurusan Makassar-Mamuju yang jalurnya via Majene lalu turun langsung depan Puskesmas Tanjung Sendana 1 ini. Ga seru ya? Emang kalo denger cerita-cerita PTT di daerah laen kayaknya aksesnya menantang banget, harus naek pesawat perintis lah, naek kapal kayu lah, jalan kaki sampe berjam-jam lah, nunggang harimau lah. Yah alhamdulillah aja gue dapet tempat yang aksesnya mudah begini hehe. Soal biaya, pesawat Jakarta-Makasar dengan maskapai Lion Air kena sekitar 800 ribu (plus excess baggage fee 25 ribu/kg dan airport tax 40 ribu), bus pemadu moda dari Bandara Internasional Sultan Hassanudin sampe pool bus 25 ribu, Bus Malam Bintang Timur jurusan Makassar-Mamuju 180 ribu (Bintang Prima, Pivoss atau Liman lebih murah sekitar 30-50 ribu) jadi total sekitar satu juta sekali jalan.

Kalo denger cerita langsung jadinya begini mungkin keliatannya seneng banget ya gue idup, gampang banget kayaknya langsung dapet tempat PTT yang aksesnya mudah, fasilitasnya lumayan lengkap, tempatnya bagus dan enak, deket gunung dan pantai sekaligus, gajinya lumayan (alhamdulillah bisa lah beli paket PS 3 ODE lengkap plus harddisk 500 gb dua kali sebulan hehe) (tapi terus abis, gabisa makan), masyarakatnya dan staf puskesmasnya baek-baek dan kontrak masa bakti yang fleksibel. Tapi kalo inget dulu ditinggal temen-temen bikin klinik, di-PHP-in Dinkes Lombok Utara, ditolak PTT Pusat, guess I could say I’ve had my share of rough patches.

So here I am, sitting blisfully in front of my laptop while the sound of crashing waves are like music to my ear, those majestic mountains standing greatly behind me, speaking of rough patches like it was years ago while it was actualy only a few weeks back. Gue tau koq di depan masih bakal banyak cobaan dan godaan menanti untuk lemahkan tekad, lunturkan niat dan patahkan semangat tapi gue bersyukur banget bisa ada di titik ini sekarang. Titik yang bukan akhir gue yakin, melainkan sebuah awal dari proses pengabdian, pengamalan ilmu dan kebermanfaatan yang akan sangat menyenangkan. :D

Tanjung Sendana, 8 September 2014
Arri Raditia, dr.

Sunday, December 11, 2011

Past

Hari ini aku sadar bahwa masa lalu, tak peduli selalu apapun, masih dapat mengejar masa kini.
Masa lalu yang entah benar terjadi, hasil rekaan semata, atau sekedar miskomunikasi.

My past was chasing me, and now it got me.

Thursday, December 8, 2011

Masih Kuat

Lapor, para pembaca sekalian.
Gue sekarang sedang berada di ruang Prof. Hendro, kepala bagian Bedah Vaskuler, menggunakan fasilitas komputer dan internetnya sementara beliau di OK. Sebuah tindakan yang mengancam keselamatan jiwa raga.

Karena bingung mau ngapain, gue ngeberesin draft-draft gue di blogger dan nemu ini.
Likely gue tulis pas jaman mau SOOCA kayaknya.
Dari kontennya nampak sekali bahwa gue nearly suicidal, but thank God i didn't proceed.
Bottomline, emang idup gue di koas (khususnya sembilan minggu di bagian bedah ini) berat.
Berat banget.
But hey, this draft proves that i've been in a situation which seems worse and more depressing, and i managed to survive. :)

"Akhir-akhir ini idup gue suram.
Dunia serasa sempit.
Ga heran, soalnya dunia buat gue akhir-akhir ini cuma berkisar tempat tidur dan meja belajar.
Kadang bosen bikin gue pindah belajar ke tempat tidur...yang akhirnya bisa ditebak, ketiduran juga.
Lain waktu gue belajar sampe ketiduran, di meja belajar.
Malah akhir-akhir ini kepala jadi lebih akrab tidur di atas Braunswald daripada bantal.
Berharap selama tidur, huruf-huruf itu berdifusi ke otak gue.

Muak juga.
Sekarang daripada ke kosan, gue lebih apal jalan ke Copa.
Rembesan stabilo mulai meramaikan seprai.
Sering panik karena si a punya fotokopian anu dan gue engga. Padahal mungkin punya, nyelip entah dimana.
Kebaca ngga kebaca yang penting punya mendadak jadi prinsip publik.
Mungkin bumi bakal mencak-mencak kalo tau berapa batang pohon yang abis buat fotokopian yang ga kebaca itu.


Mama bilang ini soal amanah. Aku bilang ini soal tubuh dan pikiran yang lelah.
Mama bilang jangan menyerah. Aku bilang mungkin tekadku mulai lemah.
Mama bilang tentang ilmu yang dititipin Allah sama aku. Aku, mau tak mau, juga setuju.

Masih KUAT.
Sekeras apapun aku belajar hari ini, selarut apapun aku tidur malam ini, aku tak mau bangun dengan penyesalan esok pagi."


Yep, you're right, younger me.
Masih KUAT. Semoga semangat itu tetap terjaga dalam diri.

Bermimpi Besar

Semustahil apapun kelihatannya, jangan takut bermimpi besar!
Tetap teguh pada mimpi itu, berusaha sekuatnya, dan berdoa pada-Nya.
Ia-lah Sang Pemegang Kunci Takdir. :)

Saturday, November 26, 2011

Mungkin saya...kesepian.

Friday, October 21, 2011

Bicara

Kami tak bicara pada mulanya

Hanya sekilas pandangan mata

Sekelebat sosok yang menaiki tangga kantin

Sekedar satu dari ratusan lain.


'Lo lucu ya..' mengawali segala

Menghias dunia

Mengawali cerita

Kami, mulai bicara.


Bicara melalui missed call

Melalui pesan-pesan pendek.



Kami bicara lewat kata

Kami bicara lewat diskusi dan adu argumentasi

Kami bicara tentang Ulil dan JIL-nya

Kami bicara tentang proporsi logika dan emosi.




Kami bicara lewat air mata

Kami bicara lewat ego dan harga diri

Kami bicara lewat amarah

Kami bicara lewat nada yang meninggi

dan tak lagi nyaman didengar

Kami bicara lewat keluh dan tangisan

yang kemudian mulai memuakan

Kami bicara lewat bentakan

Kami bicara lewat guratan wajah yang mengeras

lewat tatapan mata yang seakan tak mengerti

kenapa ia yang dikasihi bisa berubah tak berhati.


Kami bicara lewat bunga-bunga

Kami bicara melewati jalan ke Cherish atau bebek Pangdam

Kami bicara di tengah hiruk pikuk kantin kampus

kadang diiringi gelak nakal kolega yang menggoda

Kami bicara di perayaan sebulan, tiga bulan, sesemester, dan seterusnya

Kami bicara lewat ketukanku di pintumu

dan riak bahagia di wajahmu saat tahu itu aku

Kami bicara dengan kepalamu di bahuku.



Kami bicara lewat gelak tawa

Kami bicara lewat canda

bercanda tentang hampir apa saja

mungkin cuma aku, tapi kuyakin juga kamu

Kami bicara lewat warna-warni kontemplasi keriangan.




Kami bicara lewat genggaman tangan

Kami bicara lewat genggam erat tangannya saat menyebrang jalan

Kami bicara lewat jari-jari yang bertautan.



Kami bicara lewat kekosongan di dada.


Begitu saja terhenti

Begitu cepat dan hampir tanpa nyeri

Kami bicara lewat pesan-pesan terakhir

Kami bicara dengan saling mengingatkan.


'kamu boleh diet tapi minimal makan sekali sehari atuh'

'kamu kalo makan harus abis, jangan disisain terus'


'kamu jangan keseringan begadang'

'kamu jangan suka tidur kecepetan, kaya anak sd aja'


'kamu' 'kamu' 'kamu' dan bukan lagi 'kami'

Ya

Kami kini sudah tiada lagi.



Tapi satu yang kukagumi

Setelah semua ini

Kami, tak berhenti bicara.

Sunday, October 16, 2011

PLUS

Malam minggu ini aku jaga
Kukayuh Si Kuning seperti biasa
Kring-kring, begitu salaknya saat ada orang gila
Risih mungkin ia melihat yang tak bercelana.

Sudah jam tujuh kurang dua puluh empat
Tak ingin terlambat kukayuh sepedaku lebih cepat
Sampai juga dengan ditemani keringat
Ia yang menjaga siang hanya lewat
Menyapa pun tidak, kesal sesaat.

Tapi itupun cepat berganti tawa
Tersebutlah Nadia temanku dari Malaysia
Ia bawa sushi sekotak untuk disantap bersama
Kami pun berfoto, mengunyah dengan hihi-haha

Kriiiing! Bukan Si Kuning tapi televon yang berdering
Nyaring tapi tidak terdengar penting
Permintaan pemasangan NGT di Melati dekat Kemuning
Bukan hal genting apalagi life-saving.

Santai kami teruskan menonton Liverpool-MU
Residen masuk menanyakan siapa yang mau
Ayo yang mau bantu NGT ikut aku
Karena bosan semua ikut tanpa malu-malu.

Delapan kami berbondong.
Kami ajak canda juga saling dorong
Seperti anak kecil saja pikir Lorong
Biasanya gurau malam hanya jatah Si Pocong.

Sampai dengan salam lepas
Pada Haris koas bedah yang bertugas
Pasang NGT jawabku lugas
Memasuki kamar enam yang pengap dan agak panas
Aku, mendadak lemas.

Sudah refleks hal pertama yg kulihat adalah dada
Bukan mesum atau zina mata
Sebatas memastikan ada pergerakan disana
Hey-hey kenapa statis dan tak berima?

Rombongan alat resusitasi mengantri
Mengambil nomor tunggu untuk aplikasi
Merasa tak berguna mereka berteriak dalam sunyi
Ia sudah tak disini! Pulangkan kami!

Delapan kami keluar dalam diam yang canggung
Hanya berbincang dari punggung ke punggung
Pun hanya satu topik yang diusung
Ia kami yang bunuh atau hanya tidak beruntung?

Residen tenang bersabda
NHML memang sulit diajak dialog terbuka
Sering seenaknya mengambil nyawa
Ia sudah tak disana bahkan saat sushi Nadia belum dibuka.

Semeyakinkan apapun residen bukan Sang Maha Kuasa
Toh tetap malam ini kami punya satu agenda
Mengganggu tidur dengan benak bertanya
Apa yang akan terjadi seandainya..
Ya. Seandainya..

Malam ini delapan kami termenung
Ditemani beribu andai yang tak berujung.