Salam dari Tanah Celebes!
Setelah sempet terseok dan limbung dihantam nasib, berbagai rencana ambyar
luluh lantak, alhamdulillah akhirnya Allah ngebimbing gue kesini, ke sebuah
titik kecil di bagian –maaf- pantat Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Barat,
Kabupaten Majene, Kecamatan Tanjung Sendana 1, di sebuah rumah dinas yang
mungkin dari luar terlihat tua dan reyot namun bagian dalamnya...sayangnya
direpresentasikan dengan cukup akurat oleh bagian luarnya.
Sejak zaman mahasiswa memang sudah bulat gue bertekad untuk ikut program PTT
(Pegawai Tidak Tetap). Motivasinya pertama karena gue pengen mengabdi,
itung-itung balas budi pada masyarakat yang udah ikut ngesubsidi uang kuliah
dulu. Kedua karena konon Surat SMB (Selesai Masa Bakti) yang didapat setelah
menjalani PTT Pusat, Daerah, atau cara lain itu cukup sakti untuk dapet
prioritas pendaftaran sekolah spesialis, BUMN atau perusahaan swasta. Alasan
ketiga mungkin terdengar klise tapi gue pengen cari pengalaman. Pengalaman
berkecimpung di dunia kesehatan setelah sebelumnya icip-icip saat internship,
pengalaman kerja dan idup di luar Bandung slash
Pulau Jawa dengan segala kemudahan dan fasilitasnya, pengalaman terus mendorong
potensi diri di tengah keadaan yang sangat jauh dari zona nyaman.
Kenapa PTT Daerah? Karena di luar fakta umumnya gaji PTT Daerah lebih
rendah dari PTT Pusat, masa bakti PTT Daerah biasanya cuma satu taun, malah ada
yang enam bulan (dan ternyata ada yang tiga bulan kayak yang lagi gue jalanin
sekarang). Waktu jadi salah satu faktor pertimbangan utama karena maklum
lulusan dokter itu kasarnya udah abis umur di kuliah empat taun, koas satu
setengah taun (tergantung univ dan kurikulum sih) (dan itu juga kalo lancar)
plus internship satu taun. Jadi saat lulusan jurusan laen udah mandi uang dan
bertabur permata, kebanyakan dari kami masih mengais rezeki seadanya. *uhuk*
*keselek aer mata sendiri* Makanya buat gue dan sejawat lain yang ada niatan
sekolah lagi baik jalan klinis (spesialis) atau akademis (S-2), sebisa mungkin
ga pengen lagi ngabisin waktu yang ga perlu.
Kenapa Sulawesi? Well I don’t actually
have any particular affinity toward this K-shaped island. Pertama dikasitau
sama Echong yang dikasitau sama temennya, Diana, yang ternyata juga tau dari
Esmond, lulusan FK Unair yang pernah PTT Daerah di kecamatan tetangga periode
April-Juni dan berniat nerusin untuk periode September-November. Pertama dapet
info itu ada empat kecamatan di Kabupaten Majene ini yang buka peluang;
Lembang, Pamboang, Tanjung Sendana 1 dan Ulumanda. Setelah liat posisinya di
peta, jujur ga tertarik sih secara Majene ini secara garis lintang berjarak
hanya tiga derajat dari garis khatulistiwa, yang mana menjamin terik dan
gaharnya Sang Surya sepanjang hari. I
don’t actually mind the sweat and the heat, but prematurely living in some kind
of hell before getting thrown to the real one didn’t seem so tempting. Tapi
yasudahlah, berhubung cuma tiga bulan gue berniat untuk manfaatin waktu yang
ada sebelom pembukaan PTT Pusat berikutnya, pembukaan PTT Daerah di Kepri atau
Kalteng atau apply di ISOS. Setelah memantapkan hati, gue ngehubungin Esmond
dan ternyata tempat yang masih kosong tinggal Kecamatan Tanjung Sendana ini,
berhubung pengetahuan gue yang masih nol soal masing-masing kecamatan I thought what the heck what difference does
it make, langsung beli tiket! (tiket konser SNSD) (lha)
Perjalanan dari Bandung kesini bisa ditempuh dengan berbagai cara misalnya
bikin rakit sendiri terus nyebrang Laut Jawa sampe Makassar lalu berenang ke
Majene ini, seperti kata pepatah berakit-rakit ke Sulawesi berenang-renang
dimakan hiu. Tapi seperti kebanyakan orang normal lainnya gue memutuskan pake
cara konvensional. Pesawat Jakarta-Makassar ada dari berbagai maskapai dengan
jadwal sampe beberapa kali sehari, dari Makassar gue pake bus malem jurusan
Makassar-Mamuju yang jalurnya via Majene lalu turun langsung depan Puskesmas
Tanjung Sendana 1 ini. Ga seru ya? Emang kalo denger cerita-cerita PTT di
daerah laen kayaknya aksesnya menantang banget, harus naek pesawat perintis
lah, naek kapal kayu lah, jalan kaki sampe berjam-jam lah, nunggang harimau
lah. Yah alhamdulillah aja gue dapet tempat yang aksesnya mudah begini hehe.
Soal biaya, pesawat Jakarta-Makasar dengan maskapai Lion Air kena sekitar 800
ribu (plus excess baggage fee 25
ribu/kg dan airport tax 40 ribu), bus
pemadu moda dari Bandara Internasional Sultan Hassanudin sampe pool bus 25
ribu, Bus Malam Bintang Timur jurusan Makassar-Mamuju 180 ribu (Bintang Prima,
Pivoss atau Liman lebih murah sekitar 30-50 ribu) jadi total sekitar satu juta
sekali jalan.
Kalo denger cerita langsung jadinya begini mungkin keliatannya seneng
banget ya gue idup, gampang banget kayaknya langsung dapet tempat PTT yang
aksesnya mudah, fasilitasnya lumayan lengkap, tempatnya bagus dan enak, deket
gunung dan pantai sekaligus, gajinya lumayan (alhamdulillah bisa lah beli paket
PS 3 ODE lengkap plus harddisk 500 gb dua kali sebulan hehe) (tapi terus abis,
gabisa makan), masyarakatnya dan staf puskesmasnya baek-baek dan kontrak masa
bakti yang fleksibel. Tapi kalo inget dulu ditinggal temen-temen bikin klinik,
di-PHP-in Dinkes Lombok Utara, ditolak PTT Pusat, guess I could say I’ve had my share of rough patches.
So here I am, sitting
blisfully in front of my laptop while the sound of crashing waves are like
music to my ear, those majestic mountains standing greatly behind me, speaking
of rough patches like it was years ago while it was actualy only a few weeks
back. Gue tau koq di depan
masih bakal banyak cobaan dan godaan menanti untuk lemahkan tekad, lunturkan
niat dan patahkan semangat tapi gue bersyukur banget bisa ada di titik ini
sekarang. Titik yang bukan akhir gue yakin, melainkan sebuah awal dari proses
pengabdian, pengamalan ilmu dan kebermanfaatan yang akan sangat menyenangkan.
:D
Tanjung Sendana, 8 September
2014
Arri Raditia, dr.