Siang ini terik setengah mati.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Karena hari ini kelompok C cuma tutorial doang, jam 1 tadi gue udah glutukan di kosan, nunggu si mamah yang mau mampir ngedrop barang.
Tik-tok..si mamah kemana ya. Koq ga muncul-muncul doi.
Berjalanlah gue melongok ke balkon kosan, berharap melihat T 120 SS kesayangannya meluncur kemari.
Tapi belom ada ternyata. Yang gue liat malah seorang bapak-bapak tua, duduk dibawah bayangan pohon cabe samping kosan.
Siang ini terik setengah mati.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Dan si bapak itu, hanya duduk disana, dibawah bayangan kecil yang membuatnya harus duduk melipat badan. Termenung.
Palu, sekop, dan karung goni di tangannya membuat gue berasumsi dia adalah kuli serabutan.
Kasihan rasannya. Tapi ingin memberi pun apa daya, duit di dompet bahkan ga cukup buat sekali makan.
Lagipula takut juga dia terluka. Mengemis pun dia tidak.
Nguuung.
Mesin mobil si mamah yang bunyinya ngalahin pesawat terbang terdengar.
Menandakan si mamah tinggal berjarak 2km dari kosan. Hehe.
Ternyata si mamah berpikir hal yang sama.
Dikepalkannya dua lembar uang sepuluh ribu di tanganku.
"Kasiin ke si bapa itu," katanya.
Sempet kepikiran mau nilep tu duit, tapi gagal karena si mamah ogah pergi sebelum gue kasiin ke si bapak. Ckck, curugaan amat mah, sama anak sendiri.
"Pak, punten ieu hatur lumayan ti pun biang.."
Si bapak nge-freeze sekitar 3 detik.
"Aduh, nuhun, cep. Nuhun pisan.."
Matanya menyinarkan rasa terimakasih yang lebih kentara dari kata-katanya.
Setelah si mamah pulang dan gue kembali ke meja ini, gue jadi mikir.
Apa ya yang ada di pikiran si bapak tadi?
Mungkin kepalanya penuh dengan beribu pertanyaan.
Tentang kenapa hari ini ga ada kerjaan yang bisa dia dapet.
Tentang apa yang akan dia bilang ke anak-anaknya di rumah nanti.
Tentang kenapa hari ini matahari nampak berniat menghanguskan tengkuknya.
Tentang makan apa keluarganya hari ini.
Tentang berapa sudah hutangnya ke warung sebelah.
Ribuan ketidakpastian.
Sementara ketidakpastian yang ada di kepala gue cuma sebatas hal-hal remeh.
Apa akan jadi rapat hari ini.
Apa enaknya makan di Cherish atau Kedai Indra.
Apa sebaiknya mandi sekarang atau nanti.
Apa mending duluan ngerjain LI atau draft SOOCA.
Sementara ketidakpastianku membuat kerutan di dahi, ketidakpastiannya mengundang gundah di hati.
Jadi nanya sama diri sendiri.
Sudah cukup bersukurkah aku?
Apa harus nunggu sampe semua diambil sama Allah dan hanya tersisa sehias bayangan pohon?
...
Siang ini terik setengah mati.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Dan bapak itu, terpaksa hidup dalam ketidakpastiannya.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Karena hari ini kelompok C cuma tutorial doang, jam 1 tadi gue udah glutukan di kosan, nunggu si mamah yang mau mampir ngedrop barang.
Tik-tok..si mamah kemana ya. Koq ga muncul-muncul doi.
Berjalanlah gue melongok ke balkon kosan, berharap melihat T 120 SS kesayangannya meluncur kemari.
Tapi belom ada ternyata. Yang gue liat malah seorang bapak-bapak tua, duduk dibawah bayangan pohon cabe samping kosan.
Siang ini terik setengah mati.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Dan si bapak itu, hanya duduk disana, dibawah bayangan kecil yang membuatnya harus duduk melipat badan. Termenung.
Palu, sekop, dan karung goni di tangannya membuat gue berasumsi dia adalah kuli serabutan.
Kasihan rasannya. Tapi ingin memberi pun apa daya, duit di dompet bahkan ga cukup buat sekali makan.
Lagipula takut juga dia terluka. Mengemis pun dia tidak.
Nguuung.
Mesin mobil si mamah yang bunyinya ngalahin pesawat terbang terdengar.
Menandakan si mamah tinggal berjarak 2km dari kosan. Hehe.
Ternyata si mamah berpikir hal yang sama.
Dikepalkannya dua lembar uang sepuluh ribu di tanganku.
"Kasiin ke si bapa itu," katanya.
Sempet kepikiran mau nilep tu duit, tapi gagal karena si mamah ogah pergi sebelum gue kasiin ke si bapak. Ckck, curugaan amat mah, sama anak sendiri.
"Pak, punten ieu hatur lumayan ti pun biang.."
Si bapak nge-freeze sekitar 3 detik.
"Aduh, nuhun, cep. Nuhun pisan.."
Matanya menyinarkan rasa terimakasih yang lebih kentara dari kata-katanya.
Setelah si mamah pulang dan gue kembali ke meja ini, gue jadi mikir.
Apa ya yang ada di pikiran si bapak tadi?
Mungkin kepalanya penuh dengan beribu pertanyaan.
Tentang kenapa hari ini ga ada kerjaan yang bisa dia dapet.
Tentang apa yang akan dia bilang ke anak-anaknya di rumah nanti.
Tentang kenapa hari ini matahari nampak berniat menghanguskan tengkuknya.
Tentang makan apa keluarganya hari ini.
Tentang berapa sudah hutangnya ke warung sebelah.
Ribuan ketidakpastian.
Sementara ketidakpastian yang ada di kepala gue cuma sebatas hal-hal remeh.
Apa akan jadi rapat hari ini.
Apa enaknya makan di Cherish atau Kedai Indra.
Apa sebaiknya mandi sekarang atau nanti.
Apa mending duluan ngerjain LI atau draft SOOCA.
Sementara ketidakpastianku membuat kerutan di dahi, ketidakpastiannya mengundang gundah di hati.
Jadi nanya sama diri sendiri.
Sudah cukup bersukurkah aku?
Apa harus nunggu sampe semua diambil sama Allah dan hanya tersisa sehias bayangan pohon?
...
Siang ini terik setengah mati.
Matahari 5cm diatas ubun-ubun rasanya.
Dan bapak itu, terpaksa hidup dalam ketidakpastiannya.
2 comments:
Ahhhh.. Bagus. Bagus. Bagus tulisannya x)
Keep up the good work, Boy!
I'm waiting for another great thoughts from you :)
Makasih mbak..:p
Ayo2,kita saling menginspirasi!
Heheh.
Im waiting for urs too!
Post a Comment