Friday, October 21, 2011

Bicara

Kami tak bicara pada mulanya

Hanya sekilas pandangan mata

Sekelebat sosok yang menaiki tangga kantin

Sekedar satu dari ratusan lain.


'Lo lucu ya..' mengawali segala

Menghias dunia

Mengawali cerita

Kami, mulai bicara.


Bicara melalui missed call

Melalui pesan-pesan pendek.



Kami bicara lewat kata

Kami bicara lewat diskusi dan adu argumentasi

Kami bicara tentang Ulil dan JIL-nya

Kami bicara tentang proporsi logika dan emosi.




Kami bicara lewat air mata

Kami bicara lewat ego dan harga diri

Kami bicara lewat amarah

Kami bicara lewat nada yang meninggi

dan tak lagi nyaman didengar

Kami bicara lewat keluh dan tangisan

yang kemudian mulai memuakan

Kami bicara lewat bentakan

Kami bicara lewat guratan wajah yang mengeras

lewat tatapan mata yang seakan tak mengerti

kenapa ia yang dikasihi bisa berubah tak berhati.


Kami bicara lewat bunga-bunga

Kami bicara melewati jalan ke Cherish atau bebek Pangdam

Kami bicara di tengah hiruk pikuk kantin kampus

kadang diiringi gelak nakal kolega yang menggoda

Kami bicara di perayaan sebulan, tiga bulan, sesemester, dan seterusnya

Kami bicara lewat ketukanku di pintumu

dan riak bahagia di wajahmu saat tahu itu aku

Kami bicara dengan kepalamu di bahuku.



Kami bicara lewat gelak tawa

Kami bicara lewat canda

bercanda tentang hampir apa saja

mungkin cuma aku, tapi kuyakin juga kamu

Kami bicara lewat warna-warni kontemplasi keriangan.




Kami bicara lewat genggaman tangan

Kami bicara lewat genggam erat tangannya saat menyebrang jalan

Kami bicara lewat jari-jari yang bertautan.



Kami bicara lewat kekosongan di dada.


Begitu saja terhenti

Begitu cepat dan hampir tanpa nyeri

Kami bicara lewat pesan-pesan terakhir

Kami bicara dengan saling mengingatkan.


'kamu boleh diet tapi minimal makan sekali sehari atuh'

'kamu kalo makan harus abis, jangan disisain terus'


'kamu jangan keseringan begadang'

'kamu jangan suka tidur kecepetan, kaya anak sd aja'


'kamu' 'kamu' 'kamu' dan bukan lagi 'kami'

Ya

Kami kini sudah tiada lagi.



Tapi satu yang kukagumi

Setelah semua ini

Kami, tak berhenti bicara.

Sunday, October 16, 2011

PLUS

Malam minggu ini aku jaga
Kukayuh Si Kuning seperti biasa
Kring-kring, begitu salaknya saat ada orang gila
Risih mungkin ia melihat yang tak bercelana.

Sudah jam tujuh kurang dua puluh empat
Tak ingin terlambat kukayuh sepedaku lebih cepat
Sampai juga dengan ditemani keringat
Ia yang menjaga siang hanya lewat
Menyapa pun tidak, kesal sesaat.

Tapi itupun cepat berganti tawa
Tersebutlah Nadia temanku dari Malaysia
Ia bawa sushi sekotak untuk disantap bersama
Kami pun berfoto, mengunyah dengan hihi-haha

Kriiiing! Bukan Si Kuning tapi televon yang berdering
Nyaring tapi tidak terdengar penting
Permintaan pemasangan NGT di Melati dekat Kemuning
Bukan hal genting apalagi life-saving.

Santai kami teruskan menonton Liverpool-MU
Residen masuk menanyakan siapa yang mau
Ayo yang mau bantu NGT ikut aku
Karena bosan semua ikut tanpa malu-malu.

Delapan kami berbondong.
Kami ajak canda juga saling dorong
Seperti anak kecil saja pikir Lorong
Biasanya gurau malam hanya jatah Si Pocong.

Sampai dengan salam lepas
Pada Haris koas bedah yang bertugas
Pasang NGT jawabku lugas
Memasuki kamar enam yang pengap dan agak panas
Aku, mendadak lemas.

Sudah refleks hal pertama yg kulihat adalah dada
Bukan mesum atau zina mata
Sebatas memastikan ada pergerakan disana
Hey-hey kenapa statis dan tak berima?

Rombongan alat resusitasi mengantri
Mengambil nomor tunggu untuk aplikasi
Merasa tak berguna mereka berteriak dalam sunyi
Ia sudah tak disini! Pulangkan kami!

Delapan kami keluar dalam diam yang canggung
Hanya berbincang dari punggung ke punggung
Pun hanya satu topik yang diusung
Ia kami yang bunuh atau hanya tidak beruntung?

Residen tenang bersabda
NHML memang sulit diajak dialog terbuka
Sering seenaknya mengambil nyawa
Ia sudah tak disana bahkan saat sushi Nadia belum dibuka.

Semeyakinkan apapun residen bukan Sang Maha Kuasa
Toh tetap malam ini kami punya satu agenda
Mengganggu tidur dengan benak bertanya
Apa yang akan terjadi seandainya..
Ya. Seandainya..

Malam ini delapan kami termenung
Ditemani beribu andai yang tak berujung.

Friday, October 14, 2011

I'm SMART. (And So Are You)

Mungkin judul post ini bikin kalian agak pengen ngelempar Harrisson* ke muka sayah, tapi gimanapun juga itulah yang gue rasain semenjak masa koas. *ngelak dari Harrisson*

For the sake of background information, let me tell you about my academical record:
Jaman SD.
I WAS THE MAN. Yah, figuratively speaking sih, because technically i was a boy back then. Langganan ranking 3 besar di kelas dan di sekolah, sering banget disuruh ikut lomba dan cerdas cermat, mengharumkan nama sekolah banget lah.
Sejarah 6 taun itu berakhir manis dengan gue jadi ranking 1 se-sekolah dan jadi murid dengan NEM terbaik. Pulang dengan memboyong 2 piala yang gedenya ampir nyaingin badan gue. (Bohong sih, wong gue SD segede gaban) (Gaban itu apa ya btw?) (Yah well, carry on)

Jaman SMP.
Mulai ngerti kesenangan duniawi. (Apa hayoo) And hence culminate to degradation of my academical achievement. Masih 10 besar sih, tapi udah jarang masuk 5 apalagi 3 besar.

Jaman SMA.
Semakin dirasuki dan dibuai wanginya surga dunia. *halah* Apalagi makin banyak kegiatan ekstra-kulikuler dan maen sama temen, makin nyusruk lah aspek akademik gue. Tapi ga sampe parah-parah banget sih, yah paling ulangan fisika gue dapet 0 pernah lah. (But no matter how unbelievable this may seems, ini lumrah loh) Kurvanya mulai menanjak dan mencapai titik kulminasi tertingginya saat gue mau SPMB. Dengan motivasi pribadi yang menggebu untuk masuk FK Unpad, bantuan si D 1673 FK (yang dengan seenaknya gue terjemahkan sebagai 1 6ot 7o 3nter FK), dan heavily sleep deprived life cycle, gue bener-bener jadi anak rajun dan pintar dan membantu nenek menyebrang jalan.

Jaman kuliah S-1.
Sibuk di angkatan. Sibuk CIMSA. Sibuk basket. Sibuk Senat. Sibuk mengejar kepulan asap Damri terakhir biar bisa pulang hari itu. Sibuk pacaran. Sibuk wisata kuliner Jatinangor. Sibuk nongkrong di Sarmon. Sibuk maen. Sibuk membuka diri seluas mungkin pada berbagai kesempatan yang hidup tawarkan. But unfortunately, academic is not one of them. Gagal lulus dengan status "Dengan Pujian" sebenernya cukup bikin kecewa sih, since nyokap adalah orang yang sangat pintar (S-1 dan S-2 nya lulus dengan IPK 4) dan berharap anak-anaknya sepintar beliau. Meski beliau santai sih, dijadiin bahan becandaan aja..haha.

Jaman Koas.
Bagian pertama Mata: Nilai A. Jadi lulusan terbaik bareng Ruli. Dapet tawaran beasiswa.
Bagian kedua Rehab Medik: Nilai B++ (karena ketauan tidur pas perseptoran -_-").
Bagian ketiga Gigi Mulut: Nilai A. Jadi lulusan terbaik bareng Irawan dan Nita.
Bagian keempat Kedokteran Nuklir: Ga dikasitau nilainya sih, tapi ad bonam. **
Bagian kelima THT: Menanti ujian minggu depan. Semoga bagus hasilnya, amiin.

Fakta diatas bikin gue mikir, SEMUA ORANG ITU PINTAR ASAL MAU USAHA.
Karena apa yang membedakan antara gue saat koas dan kuliah adalah; PASSION.
Semasa kuliah gue menaruh passion gue untuk hal-hal lain yang sampe saat ini gue masih berdoa semoga hal-hal itu bermanfaat, sedangkan saat koas ada sesuatu yang merebut kembali passion itu ke aspek akademik. Hal apakah itu? Nantikan di post selanjutnya. :p

Jadi intinya, buat kamu-kamu yang ngerasa ga pinter ato emang ga dikaruniai bakat buat pinter, that's a complete bullshyt. I'm the living proof of my own previous sentence. Jangan jadiin itu sebagai alibi dari kejahatan lo sebenarnya; kemalasan buat berusaha.
Percayalah, potensi yang disia-siakan adalah dosa, teman. :)


*Harrisson itu buku kedokteran yang tebelnya se...yah pokoknya tebel deh.
** Serius paragraf ini bukan buat sombong, lagian mau sombong ke siapa? Wong yang baca post ini orangnya lo-lagi-lo-lagi..haha

My Oh So Scientific Post

Hello!
Wow my last post here was from three months ago. *geleng-geleng*
Consistency is always a big issue for me.. *geleng-geleng lagi* *sampe muter* *serem*

Sebenernya bukan tanpa alsan juga sih.
Its been a while since i'm intending to write not just some intuitive stuff, but also a scientific and evidence-based writings. Menulis emang penting, tapi apa yang kita tulis juga ga kalah penting.

Nah tapi masalahnya, entah karena blom biasa ato emang harus diakui bahwa otak kiri gue mengalami deteriorasi, doing scientific writings always got me sleepy. And i usually ended up ngaskus at the end of few first sentences. -_-"
Jadilah cikal bakal scientific post itu numpuk di draft, tapi udah ada niatan buat nyelesein koq! Cuman lupa aja naro itu niatan dimana ya.. *bongkar meja* *angkat-angkat bantal*

Nah, meanwhile, let me entertain my 4 million followers by my usual intuitive post. :)
Enjoy!